Gambar hanya Ilustrasi
Masih sangat teringat, ketika saya mengenakan seragam putih hitam dengan pita warna kuning berjalan menelusuri kelas-kelas di FEB Undip untuk mengikuti Orientasi Mahasiswa. Dengan langkah pasti, banyak mimpi-mimpi yang ingin saya raih di sana. Namun, tak terbesit bergabung lagi dengan organisasi Rohis (begitu sebutan di SMA) karena ingin mencoba nuansa baru di bangku perkuliahan. Pada saat orientasi kala itu, terdapat pemaparan UPK yang kini disebut UKMF oleh observer (kakak-kakak tingkat). Berbagai macam UKMF yang disebutkan oleh masing-masing perwakilan organisasi salah satunya adalah Rohis. Entah mengapa hati saya tetap tertuju pada organisasi tersebut, padahal niat saya sudah bulat untuk pensiun dari organisasi itu.
Selang beberapa hari, saya mendapat pesan dari seorang akhwat yang mengatasnamakan dirinya pementor. Tidak asing bagi saya sebutan itu, karena sewaktu SMA pun saya berada di organisasi Rohis dan mengikuti halaqoh. Akhirnya saya membalas pesan beliau dan mulailah kembali pertemuan pertama dalam halaqoh. Apa yang Allah skenariokan untuk saya, hingga saya terpilih menjadi mas’ul (ketua) mentoring dan secara otomatis harus datang di setiap pertemuannya. Alhasil beberapa kali pertemuan, kakak mentor menyarankan saya mengikuti agenda IMOT yang sekarang bernama GOM. Acaranya sangat menarik dan sedikit memberikan rasa bahwa saya perlu mentoring. Penawaran selanjutnya adalah saya diminta mengikuti seleksi Rohis. Tanpa pikir panjang, saya bersedia.
Suasana yang Allah ciptakan untuk saya adalah bagian dari proses pembenahan diri, saya dikelilingi orang-orang yang shalih dan shalihah serta lingkungan yang baik. Meskipun saat itu saya masih ikut-ikutan mentoring, asal datang saja, tapi jujur saja saya selalu merasa tenang masih berada di lingkungan tersebut. Ada lagi jalan Allah yang mengantarkan saya sebagai pementor padahal saya sadar benar bahwa ilmu saya masih dangkal, namun dengan ini mau tidak mau, saya harus rajin mentoring dan berusaha belajar agar bisa menjadi pementor yang ideal. Sejak inilah saya benar-benar merasa bahwa halaqoh (mentoring) bukan kewajiban namun kebutuhan bagi saya. Di sana saya dapat meng-upgrade bacaan Al Quran, wawasan, ilmu, dan pembenahan akhlaq. Ditambah dengan kelompok mentoring yang saling menyemangati dan ber-fastabiqul khairats, meyakinkan saya bahwa mentoring itu penting. Karna kita tidak bisa mendapatkannya jika hanya duduk di kelas perkuliahan. Yang mana mata kuliah agama hanya 2 SKS selama 4 tahun masa studi, tak sebanding dengan kebutuhan ruhani yang kita butuhkan.
Hingga saat ini, Allah belum menghentikan skenario terindah-Nya untuk selalu menjebak saya dalam kebaikan. Saya masih diberikan kesempatan untuk mengenyam halaqoh hingga saat saya sudah lulus dari Universitas Diponegoro. Bagi saya, mentoring adalah madaa alhaya atau proses sepanjang hidup bahkan di manapun kita tinggal dan seberapa tua usia kita nantinya. Karena proses belajar akan berhenti saat datang kematian. Tak usah takut, karena mentoring tidak akan menghambat kita dalam menjalankan tugas-tugas kuliah, kerja ataupun organisasi. Hanya perlu kesediaan diri dalam menerima jebakan-jebakan kebaikan dari Allah SWT, sang pencipta skenario terbaik untuk hamba-hamba-Nya.